BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang berbudaya dalam kehidupannya tidak lepas dari pranata sosial. Pranata sosial menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Pranata sosial menurut Herskovits, tidak lain adalah wujud dari respon-respon yang diformulasikan dan disistematisasikan dari segala kebutuhan hidup (Harsojo, 1967: 157).
Masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang berbudaya dalam kehidupannya tidak lepas dari pranata sosial. Pranata sosial menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Pranata sosial menurut Herskovits, tidak lain adalah wujud dari respon-respon yang diformulasikan dan disistematisasikan dari segala kebutuhan hidup (Harsojo, 1967: 157).
Hetzler secara lebih rinci mendefinisikan pranata sosial sebagai suatu
konsep yang kompleks dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan
hubungan antara manusia tertentu yang tidak dapat dielakan, yang timbul karena
dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan
sosial yang wajib atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting (Harsojo, 1967:
157). Konsep-konsep itu berbentuk keharusan-keharusan dan kebiasaan, tradisi,
dan peraturan. Secara individual, pranata sosial mengambil bentuk berupa satu
kebiasaan yang dikondisikan oleh individu di dalam kelompok, dan secara sosial,
pranata sosial itu merupakan suatu struktur.
Dari berbagai pengertian tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa pranata
sosial adalah suatu adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh setiap individu dalam
kehidupan bermasyarakat yang dapat mendatangkan sanksi bila terdapat
pelanggaran, yang akan dibahas dalam critical book report ini.
1.2 Tujuan Critical Book Report
Tujuan pembuatan critical book report ini adalah :
1. Memenuhi tugas wajib mata
kuliah Ilmu Sosial dan Budaya
2. Membandingkan isi dari dua buku
atau lebih Ilmu Sosial dan Budaya yang berbeda
1.3 Manfaat Critial Book Report
Manfaat pembuatan critical book report ini adalah :
1. Menambah wawasan pembaca
tentang Ilmu Sosial dan Budaya
2. Menambah pengetahuan penyusun
dan pembaca tentang critical book report
Baca Juga Postingan Lain Dari Blog Ini !!
Kumpulan Critical Book Report [Tersedia >50 Jenis CBR]
Critical Journal Report [Tersedia > 40 Jenis]
Contoh Laporan Mini Riset [Tersedia >25 Jenis]
Kumpulan Makalah Berbagai Jenis Tema [Tersedia >100 Jenis]
BAB II
IDENTITAS BUKU
Judul buku : PRANATA SOSIAL DALAM MASYARAKAT SUNDA
Penulis : Idat Abdulwahid, Kalsum, Teddi Muhtadin, Febyani
Penerbit : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
ISBN : 979-685-387-6
Tahun Terbit : 2003
Jumlah Halaman : (viii + 197) halaman
Ringkasan Isi Buku
Buku hasil penelitian ini
memiliki 3 (tiga) bab dengan ringkasan sebagai berikut ini:
Bab 1 : Pendahuluan
Menurut Greibstein (1968 :
161-169 dalam Damono, 1978), setiap karya sastra yang bertahan lama pada
hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan
sumbernya maupun dalam hubunganya dengan orang seorang. Karya sastra bukan
merupakan moral dalam arti sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode atau
suatu sistem tindak-tanduk tertentu, melainkan dalam perngertian bahwa karya
sastra terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif
terhadapnya. Dengan demikian, sastra adalah “eksperimen moral”. Selanjutnya
dikatakannya pula bahwa “…setiap karya sastra adalah hasil dari pengarih timbal
balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu
sendiri merupakan objek kultural yang rumit.
Beberapa ahli antropologi
yang mengemukakan pendapatnya mengenai pranata sosial:
• Herskovits yang menyatakan
bahwa pranata sosial tidak lain adalah wujud respon-respon yang diformulasikan
dan disistemasikan dari segala kebutuhan hidup (1952:229 dalam Harsojo,
1967:157)
• Heizler mengemukakan bahwa
pranata sosial adalah suatu konsep yang kompleks, dan sikap-sikap yang
berhubungan dengan pengaturan hubungan antara masusia tertentu yang tidak dapat
dielakkan, yang timbul karena dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual,
kebutuhan-kebutuhan sosial yang wajib atau dipenuhinya tujuan sosial penting .
konsep-konsep itu berbentuk keharusan-keharusan dan kebiasaan serta tradisi dan
peraturan. Secara individual, pranata sosial itu mengambil bentuk berupa satu
kebiasaan yang dikondisikan oleh individu di dalam kelompok, dan secara sosial
pranata sosial itu merupakan satu struktur (1929:67/68 dam Harsojo, 1967:157)
Herskovits, mengatakan bahwa pranata social itu tidak lain adalah wujud
dari respon-respon yang diformulasikan dan disistematisasikan dari segala
kebutuhan hidup. Secara lebih rinci, pranata social didefinisikan : ‘ sebagai
satu konsep yang kompleks dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan
hubungan antara manusia tertentu yang tidak dapat dielakkan, yang timbul karena
dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan
sosial yang wajib atau dipenuhinya tujuan-tujuan ssosial penting. Konsep-konsep
itu berbentuk keharusan-keharusan dan kebiasaan, tradisi, dan peraturan. Secara
individual pranata social itu mengambil bentuk berupa satu kebiasaan yang
dikondisikan oleh individu di dalam kelompok, dan seara social, pranata social
itu merupakan suatu struktur’.
Unsur-unsur penting pranata
social, seperti yang disebutkan Harsojo. Dalam penelitian sekarang ini,
pengertian tentang unsur-unsur penting itu dimodifikasi sejalan dengan hasil
temuan yang ada dalam objek penelitian, misalnya :
1) Hak milik, dalam karya sastra
system ini sangat tidak jelas digambarkan, kecuali tentang hal waris dan disinggung
dalam hak anak laki-laki dan anak perempuan pada cerita Baruang ka nu ngarora,
yang lebih cenderung digolongkan ke dalam system edukasi juga.
2) Perkawinan, tidak berbicara
tentang system perkawinan, tetapi berbicara tentang nasihat-nasihat perkawinan
yang berguna bagi calon istri dan calon
suami, sehingga hal ini dirasakan lebih dekat dengan edukasi.
3) Religi diterjemahkan sebagai
sistem kepercayaan dan mencerminkan sikap dan perilaku individu saat
mendekatkan diri pada Al Khalik, yang sesungguhanya berbaur denga adat.
4) Sistem hukum diterjemahkan
sebagai sistem tata nilai meliputi: moral, adat, dan hukum dalam arti yang
sangat sempit (sebagai kebalikan dari ganjaran atau hadiah).
BAB II ; ANALISIS
1. Sistem
Kepercayaan
Yang dimaksud dengan system
kepercayaan pada penelitian ini yaitu termasuk hal-hal yang bersifat realigi,
yang ikut mengatur perilaku tokoh dalam menghadapi hidup dan kehidupannya.
System kepercayaaan ini merupakan cermin dan sikap dan perilaku individu saat
mendekatkan diri pada Khalik, yang dalam kenyataannya berbaur dengan adat.
Di dalam pantun, digambarkan adanya dua alam atau kehidupan, yakni
kehidupan di Buana Panca Tengah dan kehidupan di Kahyangan atau Manggung
(keduanya berarti Langit). Kekuatan Sunan Ambu atas manusia, analog dengan
pernyataan Purbasari penghuni Buana Panca Tengah mengatakan bahwa manusia tidak
dapat menghindar dari ketentuan-Nya. Konsekuensi dari pola hubungan seperti ini
ialah munculnya hal-hal yang harus/patut dilaksanakan dan hal-hal yang dilarang
mesti ditabukan manusia dalam hubungannya dengan penghuni langit.
Hal-hal yang merupakan
keharusan ialah menahan napas pada awal menumbuk padi, tepatnya pada tujuh
ketukan awal. Selain itu, adanya keharusan untuk bertapa. Cara bertapa yang
patut dilakukan bukan dengan cara menahan diri untuk tidak makan, tetapi dengan
cara tidak merasa pegal, sungkan dan loyo. Kemudian, yang merupakan larangan
yang brhubungan dengan Sunan Ambu dan para Pohaci ialah bersanggul tinggi dan
berkain tinggi di tempat lesung, memukulkan bibir bakul ke badan lesung, serta
menyimpan beras pada lesung. Semua ini akan membuat para hohaci ketakutan,
sebab lesung merupakan perwujudan dari pohaci itu sendiri. Adapun larangan yang
berhubungan dengan Sunan Ambu ialah menabuh lesung dan menyimpan sepotong hasiwung.
Kepercayaan kepada Tuhan
memang merupakan pokok dasar system kepercayaan. Akan tetapi, dalam karya-karya
sastra yang dijadikan objek penelitian, selain kepercayaan kepada Tuhan,
terdapat pula kepercayaan lainnya, yakni kepercayaan pada tabir mimpi, magis,
tanda-tanda alam, mitos, dan tabu.
2. Sistem
Kekerabatan
Ada dua hal penting yang terungkap dari hasil analisis, yakni berupa
penyebutan hubungan kekerabatan yang dilihat dari posisi ego dan nilai
martabatat kebangsawanan. Hubungan kekerabatan rama pulung yaitu “ayah angkat”,
ambu pulung yaitu “ibu angkat”, anak putu yaitu “anak cucu”, anak cikal yaitu
“anak sulung”, seuweu yaitu “cucu”, titisan yaitu “keturunan”,.
System kekerabatan juga berhubungan dengan nili-niai warisang dengan adat
lama. Hal ini terungkap dan wejangan Haji Abdul Raup kepada Nyai Rapiah.
Menurut Haji Abdul Raup, nilai kekerabatan itu bersifat relative karena setelah
orangtua meninggal eksistensi seorang anak akan ditentukan oleh dirinya
sendiri, bukan oleh keberadaan orangtua ketika ia hidup.
System kekerabatan yang tampak dan karya yang dianalisis mencerminkan dua
hal. Pertama, mencerminkan hubungan penyebutan silsilah keluarga yang dilihat
dari posisi ego ke atas, ke bawah hingga cucu dan ke samping. Kedua, menyatakan
bahwa system kekerabatan juga mengimplikasikan adanya perbedaan martabat dalam
kehidupan masyarakat.
3. Sistem
Tata Nilai
Moral
Yang dimaksud dengan tata nilai moral di sini ialah sistem nilai yang
berupa moral yang baik dan berupa moral yang buruk. Moral yang baik ialah moral
yang mesti dilaksanakan dan dianggap akan memperoleh keuntungan-keuntungan bagi
si pelakunya, sedangkan moral yang jelek akan menghancurkan pelakunya.
Adat
Sistem nilai yang berhubungan dengan adat ini lebih didominasi oleh
nilai-nilai feodal, yakni hubungan antara kekuasaan raja dan rakyatnya (dalam
cerita pantun) dan hubungan antara bupati dan rakyatnya (dalam novel). Jika
yang menjadi fokus pada cerita pantun adalah hubunga raja denga rakyat, maka
pada novel ialah antara para bupati dan rakyatnya. Selain itu, dalam tata nilai
adat itu diungkap pula tradisi pembuatan makanan, minuman, dan nilai perkakas.
Hukum
Yang dimaksud dengan hukum di sini ialah hukum dalam arti yang sempit.
Nilai-nilai hukum yang tampak ialah tentang kedilan, yang terungkap dan
pernyataan Purbararang ketika ia mengaku salah dan bersiap menerima hukuman
dari Purbasari. Yang juga penting di dalam menegakkan keadilan ialah harus
adanya rasa kemanusiaan.
Sistem
Perkawinan
Terdapat dua karya yang secara eksplisit menggambarkan system perkawinan.
Kedua karya tersebut yaitu PK dan BK. Dalam PK terungkap nasihat-nasihat
orangtua yang menyatakan bahwa perkawinan itu sangat bergantung pada takdir,
oleh karena itu orangtua tidak perlu ikut campur, anak-anak dibiarkan mencari
jodohnya sendiri
Sistem
edukasi
Dalam cerita pantun LK versi Pleyte system edukasi tersebut
dimanifestasikan dalam bentuk harapan, kesabaran, cermat, selalu belajar dan
tatakrama. Sistem edukasi yang bebentuk harapa terungkap saat Purbasari berada
di gunung Cupu setelah diusir oleh Purbararang.
BAB III ; Simpulan dan Saran
Sistem kepercayaan terdiri
atas kepercayaan kepada Tuhan dan kepada hal-hal lain seperti tabir mimpi,
magis, tanda-tanda alam dan mitos. Dalam cerita pantun system kepercayaan
berorientasi pada Kahyangan, sedangkan pada novel berorientasi pada Allah.
Termasuk dalam sistem kepercayaan yang ada dalam cerita pantun adalah tetabuan
yang berhubungan dengan pengerjaan bahan pangan, terutama padi
Sistem kekerabatan terdiri
atas penyebutan hubungan kekeluargaan dilihat dari posisi ego, baik penyebutan
ke atas maupun ke bawah. Selain itu, ada juga penyebutan system kekerabatan
yang menyamping seperti ‘emang’ yakni paman dan ‘bibi’ yakni bibi. Terungkap
pula dalam sistem kekerabatan itu bahwa ada hubungan kekerabatan yang tidak
didasarkan pada pertalian darah, tetapi berdasarkan kesepakatan, misalnya rama
pulung ‘ayah angkat’. Selain itu, dalam system kekerabatan pun terungkap
masalah tingginya kedudukan bangsawan dan keturunan bangsawan.
Sistem tata nila dibagi
menjadi tiga bagian, yakni moral, adat, dan hukum. System moral yang ada pada
karya sastra yang dianalisis menunjukkan moral yang mesti dilaksanakan oleh
seseorang atau moral yang baik.
Yang dimaksud dengan adat
dalam penelitian ini adalah adat-kebiasaan membuat benda-benda, membuat
makanan, dan menunjukkan fungsi-fungsi tempat menenun.
Yang dimaksud hukum di sini
adalah hukum dalam arti yang sempit, yaitu yang berhubungan dengan masalah
keadilan dan kelangsungan hidup yang baik. Untuk menetukan keadilan-dalm pantun
harus ada jaksa. Di dalam pantun pun terungkap adanya larangan kawin dengan
ibu, selain itu, terungkap pula bahwa raja (dalam pantun) dan Tuan besar (dalam
roman PK) memiliki kedudukan teritnggi di dalam hukum.
Dalam system perkawinan
terungkap bahwa jodoh sangat bergantung pada takdir. Harapan yang disampaikan
kepada para pengantin ialah hidup rukun, sejahtera, panjang umur, jauh dari
bahaya, dekat rejeki, dan banyak anak. Dan, disebutkan pula bahwa seorang gadis
dipingit sejak masa akil balig.
Yang dimaksud dengan system
edukasi secara umum terdiri atas keharusan dan larangan. Keharusan mesti dilaksanakan
agar para pelakunya agar beroleh kebaikan dan larangan mesti dihindari agar
pelakunya terhindar dari marabahaya. System edukasi yang berupa keharusan /
anjuran ialah harapan, kesabaran, kecermatan, selalu belajar, memiliki tata
krama (dalam cerita pantun). Berserah diri kepada Tuhan, sederhana, sopan
santun, rendah hati, mengayomi, memerangi godaan iblis, dll.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perbandingan antara kedua isi buku
(buku pembanding yang digunakan yaitu,”Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,
karya Tim- Dosen ISBD Unimed)
Buku karya Idat Abdulwahid ini membahas salah satu di antaranya adalah
tentang sistem tata nilai. Dalam buku ini, sistim tata nilai yang dibicarakan
membahas mengenai moral, adat, hukum, system
perkawinan dan system edukasi. Kelima unsur tata nilai tersebut tentu
saia didasarkan pada system tata nilai yang berlaku di masyarakat Sunda.
Moral. Yang dimaksud dengan tata nilai moral di dalam buku ini ialah
sistem nilai yang berupa moral yang baik dan berupa moral yang buruk. Moral
yang baik ialah moral yang mesti dilaksanakan dan dianggap akan memperoleh
keuntungan-keuntungan bagi si pelakunya, sedangkan moral yang jelek akan
menghancurkan pelakunya. Dalam buku pembanding, juga dipaparkan tentang system
tata nilai moral.
Dalam buku ini, dituliskan bahwa berdasarkan kamus umum bahasa Indonesia,
moral adalah penentuan baik-buruk terhadapa perbuatan dan kelakuan. Istilah
moral biasanya dipergunakan untuk menetukan bata-batas suatu perbuatan,
kelakuan, sifat dan perangai dinyatakan benar, salah, baik, buruk atau tidak
layak, patut maupun tidak patut.
Dari pebandingan isi kedua buku (tentang tata nilai moral) di atas, dapat
dilihat bahwa terdapat kesamaan atau keselarasan pengertian dasar mengenai
system tata nilai moral, sehingga isi dari buku kritikan (karya Idat
Abdulwahid) tidak diragukan kebenarannya.
Hukum. Yang dimaksud dengan
hukum dalm buku ini ialah hukum dalam arti yang sempit. Nilai-nilai hukum yang
tampak ialah tentang kedilan, yang terungkap dan pernyataan Purbararang ketika
ia mengaku salah dan bersiap menerima hukuman dari Purbasari. Yang juga penting
di dalam menegakkan keadilan ialah harus adanya rasa kemanusiaan. Nilai hokum
yang dibicarakan dalam buku ini didasarkan pada nilai hokum yang berlaku di
masyarakat Sunda.
Dalam buku pembanding, juga dipaparkan tentang manusia dan hukum.
Dikatakan bahwa setiap manusia adalah individu dalam masyarakat. Sebagai
individu, manusia mempunyai dorongan kehendak yang ingin dicapai dan
berkeinginan agar mereka bebas melaksanakan kehendaknya, tetapi sebagai anggota
masyarakat kebebasan tersebut harus dibatasi agar tidak merugikan pihak
lain.agar tidak saling merugikan, maka dibuat aturan-aturan hidup bersama
masyarakat. Dalam pembuatan aturan tersebut, maka diberlakukan sanksi jika
seseorang melanggarnya. Aturan-aturan tingkahlaku yang disepakati bersama,
itulah yang merupakan hokum yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Menurut
Moctar Kusumaatmaja, (2002:3) dalam (Setiadi dkk, 2008) menekankan pengertian
hokum kepada ketertiban umum. Menurutnya, tujuan pokok hukum adalah ketertiban
masyarakat. Kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat bagi adanya masyarakat
yang teratur.
Jadi, berdasarkan pengertian dasar yang digunakan penulis buku kritikan,
sesuai dengan pendapat para ahli yang tertulis dalam buku pembanding. Hukum
yang berlaku di masyarakat Sunda, jika dilanggar juga akan diberlakukan hukuman
yang sesuai atas pelanggarannya. Nilai-nilai hukum yang tampak terungkap pada
pernyataan Purbararang ketika ia mengaku salah dan bersiap menerima hukuman
dari Purbasari.
Kelebihan Buku
1. Di era yang semakin modern ini,
banyak kaum muda-mudi lupa akan bahasa daerahnya. Dalam buku ini dimuat 5
lampiran yang berisi cerita rakyat asal daerah Sunda yang disajikan dalam
bahasa daerah Sunda. Melalui hal ini,
maka buku ini termasuk sudah melestarikan bahasa daerah Sunda, sehingga pembaca
buku ini (khususnya orang Sunda) selalu diingatkan akan bahasa tradisional
daerahnya (daerah Sunda).
2. Buku karya Idat Abdulwahid ini,
menurut saya sebagai pembaca termasuk buku terbitan lama yakni diterbitkan pada
tahun 2003. Di era modern ini, tidak sedikit masyarakat lupa akan sejarah
peradaban ataupun kebudayaan dari daerahnya yang diwariskan secara
turun-temurun dari tahun ke tahun. Melalui buku ini, masyarakat Sunda (khususnya)
selalu diingatkan akan peradaban masyarakat merekat dari tahun-tahun yang
silam. Jadi, dapat disimpulkan bahwa buku ini dapat melesatikan budaya
masyarakat Sunda yang sesungguhnya
3.2 Kelemahan Buku
1. Buku karya Idat Abdulwahid ini
adalah buku penelitian tentang pranata sosial masyarakat Sunda. Menurut saya
sebagai pembaca, akan lebih baik lagi jikalau penulis buku ini mencantumkan
beberapa gambar pendukung tentang gambaran masyarakat Sunda, supaya para
pembaca buku ini mudah mengerti akan pranata sosial di masyarakat Sunda dan
kebenarannya juga dapat dibuktikan melalui gambar tersebut. Jadi, salah satu
kelemahan buku ini adalah tidak dimuatnya gambar-gambar pendukung tentang
pranata sosial masyarakat Sunda yang sesungguhnya.
2. Pembahasan mengenai pranata
sosial yang disajikan dalam buku penelitian ini masih kurang luas. Misalnya,
dalam buku ini masih belum membahas mengenai norma, agama, kebudayaan dsb, yang
dianut oleh masyarakat Sunda
Lihat Juga!
Lihat Juga!
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pranata sosial pada hakikatnya adalah suatu nilai-nilai luhur masyarakat
Sunda yang sudah sepantasnya menjadi acuan hidup, sehingga masyarakat Sunda
dapat mewujudkan kehidupan yang gemah ripah repeh-rapih, silih asih, silih asah
dan silih asuh.
Dengan menghayati pranata sosial, masyarakat Sunda akan mampu membendung
pengaruh budaya asing yang menyerbu kebudayaan Sunda. Walaupun demikian, kita
faham benar bahwa dalam alam kesejagatan (era globalisasi adalah mustahil
membendung pengaruh dari luar, maka yang harus kita lakukan adalah kemampuan
mentransformasikan nilai-nilai budaya dalam kemasan budaya Sunda yang mendunia.
4.2 Saran
Berdasarkan kelebihan dan
kelemahan buku, maka saya sebagai pembaca menyarankan bagi muda-mudi (khususnya
masyarakat Sunda, baik yang bertempat tinggal di Jawa maupun di lua Jawa) untuk
mau ataupun berkeinginan untuk membaca buku karya Idat Abdulwahid ini. Sesuai
dengan yang telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa melalui pembacaan buku
ini, maka pembaca dapat mengetahui pranata sosial yang sesungguhnya mengenai
masyarakat Sunda dan bahasa daerah/tradisional Sunda juga terlestarikan.